[Lomba Fiksi Fantasi 2012] Selembar Sajak Loem
KEYWORD(s) : Pasar malam, gula-gula, rasi, salju, polkadot, pohon pisang, cerpelai, jelantah
“Issyana, kapan kita pulang?” Loem menguap lebar ketika Issyana sedang asyiknya memilih varian rasa gula-gula yang ada di depannya. Begitu banyak rasa yang ditawarkan dan Issyana tidak akan pernah mau melewatkan toko gula gula Tuan Muafo ketika pasar malam yang berlangsung di desa mereka diselenggarakan.
“Selalu saja kamu menguap ketika menemaniku keluar. Bisakah kamu lebih romantis sedikit? Bahkan aku sudah memakai baju motif polkadot pemberianmu ketika ulang tahunku yang ke-115. Apa kamu tidak menyadarinya?” omel Issyana ketika selesai melakukan transaksi dengan Tuan Muafo.
“Ah. Maaf, sayang. Tempat ini kekurangan cahaya, jadi...” Loem menggarukkan kepalanya yang tidak gatal.
Issyana hanya bisa menghela nafas melihat tingkah laku Loem. Ini bukan pertama kalinya Loem menguap ketika Issyana mengajaknya ke luar rumah. Loem lebih suka menghabiskan waktunya dengan menuliskan kata demi kata di atas sebuah benda yang Loem biasa sebut dengan buku. Dan Loem biasanya mengguratkan garis-garis yang mempunyai bentuk yang asing dengan alat yang biasa Loem panggil pensil.
Asing? Ya. Benda-benda Loem terasa asing untuk Issyana. Tiga tahun yang lalu, tepatnya. Sebelum Loem memutuskan untuk sepenuhnya menjadi bagian dari bangsa Elf.
Loem dulunya adalah manusia biasa. Sampai suatu ketika dia ditemukan terdampar di perairan pulau Elves Lair, tempat Issyana dan Loem tinggal sekarang. Loem ditemukan di dalam kapal kecil. Waktu Issyana menemukannya, Loem tak sadarkan diri. Issyana memandangi Loem dengan seksama waktu itu. Rambut hitamnya yang panjang hingga menutupi sebagian wajahnya, kulitnya yang berwarna kecoklatan, sangat kontras dengan kulit Issyana dan bangsa Elf lainnya yang berkulit putih.
Loem terlihat membawa barang yang cukup banyak di dalam kapal kecilnya itu. Issyana masih tidak mengerti situasi makhluk yang ditemukannya itu. Sampai akhirnya mata Loem menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
“Pffftt..” Issyana menahan tawa ketika mengingat kejadian ketika dirinya dan Loem pertama kali bertemu.
“Ada yang lucu, Issyana?” kening Loem mengerut ketika ada suara dan ekspresi aneh yang muncul dari Elf yang berjalan tepat disebelahnya itu.
“Hanya mengingat masa lalu.” jawab Issyana sambil tersenyum.
“Ah! Pasti itu. Lupakan saja, Issyana. Aku malu.” pinta Loem sambil menunjukkan ekspresi memelas.
“Loem, kamu lupa? Elf memiliki daya ingat yang lebih daripada jenismu? Walaupun sekarang kamu sudah melewati ritual suci dan menjadi Elf yang diakui para mystic – sesepuh Elves Lair, kamu masih manusia. Elf memiliki telinga yang panjang, dan untuk bentuk tubuh yang lain, kita tidak terlalu berbeda.” beber Issyana sambil menikmati gula-gulanya.
“Lagipula...”
“Umur para Elf lebih panjang dari manusia. Aku tahu. Aku sekarang hanya 35 tahun dan sudah seperti ini. Dan kamu, sudah 115 tahun dan masih segar bugar.” Loem memotong pembicaraan Issyana.
“Kamu tidak perlu mengingatkan hal itu. Aku sudah cukup tahu.” lanjut Loem.
“Maaf.” Issyana menghentikan pembicaraan dan berjalan mengikuti langkah Loem dengan kepala tertunduk.
Issyana sedikit tersentak ketika ada sesuatu yang hangat menyentuh jemarinya.
Loem menggenggam tangannya. “Tidak apa-apa.” ucapnya, hampir berbisik.
***
“Loem, boleh aku baca buku itu?” Issyana mengarahkan jarinya ke arah satu dari sekian banyak tumpukan buku yang ada di atas meja.
“Lakukan sesukamu, Issyana. Para mystic sudah menyetujui kita untuk bersatu, bukan? Tempatku, tempatmu juga. Lakukan sesukamu.” Loem tersenyum ke arah Elf perempuan di hadapannya itu.
Issyana bisa merasakan wajahnya memanas. Ya, dirinya dan Loem saling mencintai. Sejak Issyana menemukan Loem terdampar saat itu, Issyana dan Loem menjadi sangat dekat. Dan akhirnya para mystic mengizinkan mereka untuk bersatu secara penuh setelah mereka berhubungan cukup lama. Walaupun perbedaan diantara mereka begitu jauh.
Issyana mengambil buku usang milik Loem. Tidak butuh waktu yang lama bagi Issyana untuk mengerti tulisan apa yang tertulis di buku itu. Elf memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dibandingkan manusia biasa. Loem hanya perlu mengajarkan Issyana huruf alfabet dan Issyana mengerti arti tulisan itu. Bahasa yang manusia dan Elf gunakan tidak jauh berbeda. Yang membedakan hanya bentuk tulisan saja.
Buku usang yang Issyana baca adalah buku harian Loem. Issyana baru mulai membaca buku harian Loem sejak mereka dipersatukan satu bulan yang lalu.
“Bagian yang mana, Issyana?” tanya Loem sambil membawakan Issyana coklat panas dan duduk di sebelahnya.
“Hm, disini tertulis cerpelai yang mati. Cerpelai itu apa?” tanya Issyana.
Loem pun menjelaskan tentang binatang peliharaannya semasa kuliah dulu yang mati karena sakit.
“Oh, sudah lama tidak ada, ya? Ah, disini ada tulisan rasi bintang. Aku suka bintang. Kakek pernah menceritakan padaku tentang rasi bintang. Lain kali tunjukkan padaku, ya?” pinta Issyana pada Loem dengan mata berbinar-binar. Begini lah ekspresi Issyana ketika membaca buku harian Loem. Issyana selalu tertarik dengan hal-hal baru. Loem hanya menggangguk merespon permintaan Issyana tadi. Dalam hati Loem niatkan untuk menunjukkan satu rasi bintang pada Issyana.
“Ada kata yang aneh lagi, Issyana?” tanya Loem sambil menyeruput sedikit coklat panasnya. Issyana pun mulai menunjukkan kata-kata seperti pohon pisang. Pohon yang keberadaannya tidak ditemukan di pulau Elves Lair. Issyana juga menanyakan bentuk buahnya seperti apa ketika Loem menyebutkan pohon itu menghasilkan buah sama seperti pohon-pohon di Elves Lair.
“Oh, begitu, ya. Ternyata lingkungan kita masih banyak perbedaan.”
Issyana membuka lembar selanjutnya. Kali ini tulisannya tidak sepanjang halaman-halaman sebelumnya. Tulisannya lebih berbentuk. Pendek, namun ketika membacanya, Issyana merasakan sensasi yang aneh.
Yang tersayang, dirimu
Maaf jikalau tiba-tiba kata demi kata ini tertulis
tertujukan padamu
Entah kapan salju hati ini mencair seketika
Melihatmu sejenak membuatku teringat kembali
Ah, aku masih punya perasaan
Yang tersayang, dirimu
Maaf jikalau aku menyeruak masuk dalam kehidupanmu
secara tiba-tiba
Entah kapan gunung es hati ini mulai runtuh
Memandangimu sejenak membuat hati ini berdesir
Ah, aku masih bisa merasakan hangatnya hal ini
Yang tersayang, dirimu
Maaf, jikalau aku tidak layak dan tidak cukup pantas
hanya untuk mengenalmu
Entah sejak kapan minyak jelantah kehidupanmu terbuang
Memperhatikanmu sejenak membuatku memutar otak
Ah, haruskah aku menjadi sesuatu yang baru bagimu?
“Ini...” Issyana memperhatikan kata demi kata yang tertulis. Loem hanya diam sambil menunggu respon Issyana berikutnya.
“Ini...” Issyana tampak tidak bisa memberikan respon apa-apa. Sepertinya dia cukup kaget. Loem pun menaruh cangkirnya di atas meja dan mendekatkan tubuhnya pada Issyana untuk melihat buku harian itu bersama-sama.
“Ini puisi yang aku tulis waktu aku kuliah dulu.” terang Loem.
“Sepertinya, perasaanmu dalam sekali, ya?” jemari Issyana mengusap puisi pada lembaran yang sudah usang itu. Matanya menatap puisi itu, nanar.
“Kenapa, Issyana?” Loem meneliti raut wajah Issyana.
Issyana diam, tetap menatap lembaran usang itu.
“Cemburu? Hm?” Loem tersenyum.
“Ti-tidak, kok. Aku hanya – “
Issyana tidak melanjutkan kata-katanya. Bibirnya sudah terkunci oleh bibir Loem. Issyana yang awalnya terkejut, sesaat kemudian membiarkan Loem mengambil alih dirinya selama beberapa detik.
“Nanti aku buatkan satu untukmu, ya?” bisik Loem disela-sela ciuman mereka.
Issyana mengangguk. Sedetik kemudian, Issyana membiarkan bibirnya terkunci kembali oleh bibir Loem.
***
6 bulan kemudian...
“Loem berbaring saja, ya?” Issyana membujuk Loem untuk berbaring saja di tempat tidurnya. Benar kata para mystic, manusia tidak bisa bertahan lama di Elves Lair. Hampir empat tahun sudah Loem berada di sini sejak ia terdampar saat itu.
Suara batuk Loem pun makin keras. Loem berusaha keras menahan batuknya dengan menutup mulutnya. Tapi usaha Loem sia-sia.
“Da-darah...” Issyana segera mengambil kain terdekat untuk membersihkan darah yang terdapat di tangan, baju, dan pelipis Loem. Setelah membasahi kain itu sedikit, Issyana langsung menyeka bagian mana saja pada Loem yang terkena darah.
Tak lama kemudian Kakek Issyana, Mystic Lauro Magnifico sampai ke rumah Loem seperti yang diminta Issyana tadi. Kakek Issyana merupakan salah satu dari mystic di Elves Lair dan merupakan seorang tabib terhebat di sana.
“Kakek! Lo-Loem, da-darah...”
“Tenang! Tidak akan ada yang selesai dengan panik!” Mystic Lauro Magnifico langsung memeriksa Loem yang terbaring lemah di atas tempat tidurnya.
“Issyana.”
“Ya, Kakek?” Issyana menghampiri Kakek nya sambil berusaha tenang.
“Panggil para tabib dari golongan mystic ke sini. Siapkan rajutan akar pohon untuk membawa Loem ke Mystic Symbol. Kami akan coba melaksanakan ritual penyembuhan di sana.”
Issyana bergegas mengumpulkan para tabib dan menyiapkan apa yang kakeknya butuhkan. Issyana kembali ke rumah Loem dengan nafas terengah.
“Kakek! Se-semuanya, sudah, siap.” Issyana berusaha mengatur kembali nafasnya.
“Bawa Loem ke sana.” Kakek Issyana memerintahkan para ksatria Elf untuk membawa Loem dengan rajutan akar pohon.
“Is-sya-na...” Loem berusaha keras memanggil Issyana. Issyana segera mendekat.
“Ya? Kenapa? Butuh sesuatu? Aku disini, Loem.” Issyana berusaha menahan tangisnya.
Loem berusaha menunjukkan jarinya ke arah buku hariannya yang terletak di atas meja satu meter dari tempat tidur Loem.
“Jan-ji...” Loem berusaha merangkai kata walaupun sulit.
Issyana berusaha mencerna dengan cepat apa yang dimaksud oleh Loem.
“Pu-i-si...” lanjut Loem lagi.
“Bawa Loem sekarang!” dengan sigap para ksatria Elf membopong Loem dan membawanya ke Mystic Symbol atas perintah Kakek Issyana. Issyana masih sibuk membalikkan halaman demi halaman buku harian Loem. Issyana mengerti maksud Loem. Loem berusaha menepati janjinya pada Issyana. Dan selembar janji itu pun ditemukan Issyana di bagian tengah buku harian Loem.
Yang tersayang, Issyana
Hati manusia ini terenggut juga, akhirnya
Ada yang bilang, cinta tak mengenal batas
Faktanya pun demikian
Yang tersayang, Issyana
Pertama kali bertemu, aku merasa takdir ini sudah tak sama
Ada yang bilang, cinta itu buta
Faktanya pun demikian
Yang tersayang, Issyana
Kasih sayang begitu terpancar darimu, aku rasakan itu
Ada yang bilang, cinta itu sangat indah
Faktanya pun demikian
Yang tersayang, Issyana
Perbedaan tetap ada, kontras terlihat
Ada yang bilang, cinta itu melumpuhkan segalanya
Faktanya pun demikian
Yang tersayang, Issyana
Bisakah jiwa raga ini, menerima pancaran cahayamu,
diantara perbedaan ini,
sekali lagi ?
Untuk yang tersayang,
Issyana
Issyana mengambil pensil yang biasa Loem gunakan untuk menulis. Setetes air mata membasahi kertas usang itu sebelum Issyana sempat menulis di atasnya. Dengan cepat Issyana menulis di atas kertas kosong yang belum terkena tetesan air matanya.
Selesai menulis, Issyana pun berlari ke arah Mystic Symbol dengan sisa-sisa kekuatannya. Terlihat semburat cahaya berwarna ungu dari simbol pusat ritual. Issyana terus berlari ke arah sosok yang terbaring di tengah-tengah simbol. Sebuah dinding penghalang bening tercipta setelah semburat ungu tadi menyeruak dari celah-celah simbol sehingga Issyana tidak bisa mendekat lagi.
Percaya, Loem.
Perbedaan itu, bukan penghalang
Melainkan pemersatu
“I-ssya-na...?”
Yang tersayang, Issyana
Terima kasih, atas warna-warni kehidupan
Yang terus membuncah, hingga detik ini
“Lo-em...?”
Yang tersayang, Loem
Perbedaan memang menyakitkan,
Tapi, bukankah mereka yang bersatu,
adalah mereka yang berbeda satu sama lain?