Sunday, July 24, 2011

Nothing Better Than You

Genre: Romance

Cast: Yoon Hae Ra(You/Readers), Im Seul Ong (2AM)

Story Status: One-Shot

Author: Putri Kurnia Nurmala



#Yoon Hae Ra’s Point Of View


February, 14th 2009

Aku ingin sekali naik bianglala itu bersama Seul Ong oppa. Sudah lama sekali aku memimpikan kencan hari ini. Tetapi kenapa antriannya panjang sekali ya? Taman bermainnya juga sebentar lagi tutup, pasti tidak akan sempat naik itu. Kulihat Seul Ong oppa yang tampak pucat. Ada apa ya dengannya?

“Oppa, gwenchana? Oppa sakit ya? Kita pulang saja ya?”, keegoisanku yang tadi seketika lenyap melihat Seul Ong oppa yang tampak pucat dan lemas itu. Perasaanku tidak enak melihat keadaan Seul Ong oppa yang sekarang.

“Aniyo. Cuma pusing sedikit kok, gara-gara naik Roller Coaster tadi. Hehe.”, katanya sambil nyengir. Aku pun membopongnya ke tempat duduk terdekat. Tak lama, aku pun mendengar pemberitahuan dari manajemen taman bermain yang mengatakan semua pengunjung diharapkan keluar dengan tertib dari taman bermain karena akan segera ditutup.

“Kita pulang yuk, oppa. Aku antar sampai depan rumah.”, aku pun berdiri kemudian berusaha membopong Seul Ong oppa. Ketika aku hendak menaikkan tangannya ke pundakku, dia pun menariknya, kemudian merangkulku. Aku heran sejenak kemudian melihat ke arah wajahnya. Dia tersenyum, seakan-akan memberitahu bahwa dia tidak apa-apa.



Semuanya terjadi begitu saja, seiring dengan waktu. Sampai akhirnya hal itu terjadi.



February, 13th 2010

Aku merapikan baju ku. Yak, sudah rapi. Lalu kutata lagi tatanan rambutku. Hari ini kuputuskan untuk memakai pita warna putih, senada dengan long dress yang aku pakai sekarang. Long dress yang aku pakai sekarang ini merupakan pemberian dari Seul Ong oppa di hari ulang tahunku tahun lalu. Dia juga menemaniku ke taman bermain yang sudah lama ingin aku datangi bersama pacar pertama, dan mudah-mudahan saja yang terakhir (>///omma dan unnie yang sedang menonton TV. Sepertinya drama yang mereka tonton sekarang adalah serial baru.

“Omma, unnie, aku pergi dulu ya. Ke tempat biasa. Nanti tolong rekamkan di video ya.”, kataku sambil memakai sepatu dan sesegera mungkin pergi ke tempat yang biasa aku tuju, untuk setahun terakhir ini.



Seoul Hospital

Aku mengintip sebentar melalui kaca pintu kamar. Ah, ada ahjumma. Aku cek jam tanganku. Kemudian dengan segera masuk ke kamar rumah sakit itu setelah mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Ahjumma. Aku akan mengurusnya. Ahjumma istirahat saja. Pasti ahjumma lelah sekali.”, kataku sambil memandangi paras ahjumma yang kelihatan lelah. “Ahjumma sudah makan? Kalau belum ahjumma mau makan apa? Nanti aku carikan.” Beliau hanya menggeleng lemah dan tersenyum.

“Aniyo. Saya akan makan sesampainya saya di rumah nanti. Saya akan pulang sebentar dan kembali lagi nanti.”, katanya sambil berdiri dan mengambil barang-barangnya. Aku pun membantu sebisaku.

“Ahjumma, hari ini dan besok biar aku saja yang jaga. Kebetulan aku juga baru dapat libur setelah ujian semester kemarin. Tenang saja. Aku akan memberitahu omma juga. Ahjumma tidak usah khawatir.”

“Omo. Kansahamnida¸ Hae Ra-ah. Ahjumma merasa sangat berhutang budi denganmu. Hubungi saya kalau ada apa-apa ya?”

“Ne. Tenang saja. Istirahat yang cukup ya ahjumma.”, kataku sambil mengantar beliau sampai ke depan pintu kamar.

Setelah memastikan ahjumma sudah pulang, aku membalikkan badanku. Kutatap sosok yang sekarang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit.

“Seul Ong oppa, hari ini omma dan unnie sedang menonton serial drama yang dinantikan mereka berdua. Dari pagi tadi mereka tidak beranjak dari depan TV, kecuali untuk beberapa hal, tentunya. Padahal serial drama itu akan tayang satu jam lagi.”, kataku sambil tertawa sendiri mengingat tingkah laku omma dan unnie di rumah tadi. “Oh, ya, aku harus memberitahu omma bahwa aku akan menginap disini mala mini. Sebentar ya oppa.”, aku pun menekan tombol speed dial omma.

“Yoboseyo?”

“Omma, aku akan menginap di rumah sakit malam ini, tidak apa-apa kan? Lagipula ahjumma kelihatan lelah sekali. Aku juga sudah lama tidak menjaga Seul Ong oppa disini. Boleh kan, omma?”

“Berapa lama kira-kira?”

“Mungkin sampai besok. Lusa setelah ahjumma kesini, aku akan pulang.”

“Baiklah. Hati-hati. Salam untuk Seul Ong ya.”

“Ne, omma. Omma hati-hati ya di rumah.”, dan aku pun memutuskan sambungan. Kemudian kutatap lagi Seul Ong oppa yang masih terbaring di depanku.

“Oppa, ada salam dari omma-ku. Hehe. Apa boleh aku menyampaikan salam kembali darimu, oppa?”

Sosok yang ada di depanku ini hanya terdiam membisu. Ku seka rambut oppa yang berjatuhan di dekat matanya. Ku tatap lagi wajahnya. Masih seperti waktu-waktu sebelumnya. Tidak ada yang berubah. Sejak kecelakaan itu, dia tidak sadarkan diri, hingga saat ini. Seandainya saja, aku tidak membiarkan dia pulang sendiri waktu itu.



*Flash Back – February 14th 2009, 22.15 p.m.

“Oppa benar-benar tidak apa-apa? Kok pucat sekali?”, tanyaku, khawatir dengan wajahnya yang tiba-tiba menjadi pucat sekali, lebih pucat daripada sebelum dia menjemputku tadi pagi.

“Ne, gwechanayo. Aku tidak apa-apa. Masuklah ke dalam, hari sudah gelap.”, perintahnya sambil membalikkan badanku dan mendorong bahuku, pelan.

Walaupun dia bilang seperti itu, hatiku berkata sebaliknya. Entah firasat apa yang membuatku seperti ini, tetapi hatiku mengatakan aku harus mengantarnya pulang. Dia tidak boleh pulang sendirian malam ini. Kalaupun dia enggan aku antar, dia harus menginap di rumahku. Apapun alasannya. Itu pikirku.

“Ta-tapi, oppa, perasaanku mengatakan- “

Tiba-tiba jari telunjuk nya menempel di bibirku, menyuruhku untuk diam. Kemudian Seul Ong oppa mengecup keningku. Kemudian membelai rambutku. Hangat sekali rasanya.

“Gwenchana. Semua akan baik-baik saja. Aku janji.”, katanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya, pinky swear.

“Sesampainya di rumah, harus telepon aku ya.”, pintaku, manja.

Aku pun menyambut jarinya itu. Kemudian membalas lambaian tangannya. Kemudian dia menghilang di balik simpangan, sampai akhirnya aku masuk ke dalam rumah, lalu langsung menunggu telepon dari Seul Ong oppa, sampai akhirnya aku terlelap karena lelah, dan terlalu lama menunggu.



February 15th 2009

00.10 a.m.



KRING ~!

Suara telepon masuk dari handphoneku membangunkanku dari dunia mimpi. Aku lihat caller id yang muncul di LCD handphoneku. Ahjumma? Ada perlu apa beliau tengah malam begini?

“Yoboseyo?”

“H-Hae Ra-ah, Seul Ong-ah,Seul Ong-ah...”

Deg! Hatiku langsung cemas mendengar ahjumma berbicara dengan nada seperti itu. Ada apa dengan oppa?

“A-ada apa, ahjumma?”, tanyaku takut-takut. Tak ingin pikiran negatif yang aku pikirkan sekarang menjadi kenyataan.

“D-dia, kecelakaan. D-di tabrak mobil.”

Seketika air mataku mengucur deras mendengar kabar itu. Aku langsung berteriak sekencang-kencangnya. Sampai-sampai omma dan unnie langsung tergopoh-gopoh berlari ke kamarku.

“Ada apa, Hae Ra-ah? Mimpi buruk?”, tanya omma sambil membelai rambutku.

“Se-Seul Ong oppa, kecelakaan…”, omma yang kaget langsung memelukku dan membiarkan aku menangis sejadi-jadinya di pelukan omma.

“Jangan menangis terus!”, kata unnie setengah membentak. “Ayo kita ke rumah sakit! Menangis sekarang tidak ada artinya. Dia dibawa ke rumah sakit mana?!”

Ditanya seperti itu, pikiranku langsung bercampur aduk. Takut, gelisah, khawatir bercampur aduk menciptakan ketakutan tersendiri di dalam hatiku. Unnie yang tidak sabaran melihat keadaanku sekarang ini langsung mengambil handphoneku dan menelpon ahjumma.

“Di Seoul Hospital. Ayo cepat masuk mobil. Kita kesana sekarang.”

Dengan cekatan unnie mengambil jaket dari lemariku, kemudian memerintahkan omma untuk memakai jaket juga dan membawaku masuk ke mobil. Unnie tak lama kemudian masuk ke dalam mobil setelah mengunci pintu dan jendela rumah. Aku yang masih menangis dalam pelukan omma tidak tahu harus berbuat apa. Yang ada dipikiranku hanya ada bayangan Seul Ong oppa yang terbujur kaku. Aku pun menangis sejadi-jadinya.



Seoul Hospital

“Anak ibu, dalam keadaan koma sekarang. Maaf. Kami tidak bisa banyak membantu.”, kata dokter yang kemudian di sambut dengan iringan suara tangis ayah dan ibu Seul Ong oppa. Aku yang masih dipapah oleh omma, langsung terduduk lemas. Tetapi kucoba untuk bangkit untuk melihat keadaan Seul Ong oppa. Kubuka pintu kamar oppa, melihatnya hanya tertidur dan penuh luka seperti itu. Aku tak sanggup melihatnya. Rasanya semua yang kulihat menjadi berbayang, dan kemudian gelap.



07.00 a.m.

Aku membuka mataku sedikit demi sedikit. Karena lampu kamar yang terang ini, membuatku agak sedikit pusing karena langsung menatap benda terang secara langsung. Kucoba membuka mataku dan melihat sekeliling. Kenapa omma tidur disini? Kenapa unnie tidur di sofa? Ini juga bukan kamarku. Jadi, ini bukan mimpi?

Aku langsung shok saat itu juga ketika mencoba mengingat kejadian semalam. Omma yang memelukku sekuat tenaga, unnie yang langsung menutup mulutnya yang seakan-akan tidak percaya hal ini terjadi, dan aku yang masuk ke kamar Seul Ong oppa dan melihatnya koma. Koma?

Aku langsung menuju ke arah dimana Seul Ong oppa dirawat. Aku tanya perawat terdekat. Kemudian dia menunjukkan kamarnya dan aku langsung melesat ke arah yang ditunjukkan. Aku langsung masuk ke kamar itu dan melihat ayah dan ibu Seul Ong oppa yang sekarang hanya bisa terduduk diam disampingnya. Ahjumma (ibu Seul Ong oppa) mendekatiku dan memelukku erat.

“Dia sedang koma, Hae Ra-ah. Yang bisa kita lakukan hanya berdoa sekarang. Dan mendukungnya agar dia cepat bangun.”, kata beliau sambil membelai rambutku.

Aku hanya bisa menangis.



*End of Flashback


February 13th 2010

Aku pun merapikan bunga serta perlengkapan lainnya yang berantakan di dalam kamar. Aku harus tetap membiarkannya bersih. Karena udara yang bersih akan membantu seseorang sembuh dari sakitnya. Setelah beres-beres, perawat masuk dan memasukkan sesuatu dalam infuse. Kemudian tampak menuliskan sesuatu, kemudian pamit padaku. Aku pun balas mengangguk.

Setelah beres-beres, aku melihat wajah Seul Ong oppa yang tampak tidak begitu cerah. Sepertinya ahjumma hanya mengganti bajunya saja tadi. Aku ambil handuk kecil dan baskom kecil diisi dengan air. Kubasahi sedikit handuknya, dan mulai kuusapkan ke wajah dan tangan Seul Ong oppa. Perlahan-lahan ku lakukan agar tidak menyakitinya. Setelah selesai, kurapikan lagi perlengkapan tadi. Dan aku pun duduk di sampingnya. Mencoba menceritakan kegiatanku di dunia perkuliahan.

“Hari pertama masuk kuliah, hanya kulalui dengan perkenalan saja. Aku berkenalan dengan berbagai macam orang dari berbagai daerah, oppa. Teman-temanku cantik dan tampan semua, oppa. Tetapi tetap saja oppa nomer satu di hatiku. Hehe.”, ujarku sambil tertawa sendiri. Malu terhadap apa yang aku ucapkan barusan.

Kudengar ada yang mengetuk pintu kamar. Sebelum aku sempat bangkit dan membukakan pintu, unnie datang dengan beberapa tas yang dibawanya.

“Apa ini, unnie?”, tanyaku penasaran.

“Keperluanmu. Pakaian untuk dua malam, makanan kecil, kalau ingin makan apa, telepon saja omma. Katanya beliau akan langsung membuatkannya untukmu. Unnie pulang dulu ya, masih ada kerjaan kantor yang mesti dikerjakan.”, kemudian unnie pun berbalik dan langsung pulang sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih. Ku ambil handphone-ku, menu sms.

Gomawo unnie. ^^

Send.



February 13th 2010, 23.58 p.m




Ah! Sudah berapa lama aku tertidur ya? Apa ya yang barusan aku lakukan? Oh ya! Hanya memandangi Seul Ong oppa dan menunggu perawat yang biasanya datang mengecek keadaan oppa. Kupandangi jam tanganku. Sudah hampir jam dua belas malam. Harusnya perawat yang piket sudah kesini. Apa mungkin telat ya?

Ku buka tirai, kemudian disambut dengan kerlap-kerlip lampu rumah penduduk. Kulihat sekilas ada beberapa orang yang berjalan sambil terhuyung-huyung. Mungkin sedang mabuk. Ku lihat juga beberapa pasangan kekasih lewat di jalan depan rumah sakit. Yah, mungkin karena besok hari libur, jadi jalanan agak ramai hari ini.

Kututup tirai dan kembali duduk di kursi samping Seul Ong oppa. Tiba-tiba ringtone handphoneku berbunyi, kulihat LCD yang kemudian memunculkan nama omma.

“Saengil chukae, Hae Ra-ah!”, teriak orang dari seberang sana. Bukan berasal dari omma saja sepertinya, tetapi ada suara lain. Pasti unnie.

“Ssh! Ribut sekali kalian. Hehe. Kansahamnida omma, unnie. Omma terima kasih telah melahirkan aku ke dunia ini. Unnie, terima kasih sudah lahir sebelum aku. Sehingga unnie harus menjagaku sampai sekarang. Jeongmal kansahamnida.”, rasanya air mataku hampir tumpah mendengar kata-kata yang kuucapkan sendiri.

“Haha bisa saja kamu. Terima kasih sudah hadir di dunia ini ya, Hae Ra-ah!.”, jawab omma.

“Makanya, cepat dewasa biar aku tidak sibuk mengurusi kamu lagi. Haha.”, unnie pun menimpali.

“Ne. Doakan saja ya. Omma, unnie, tidurlah. Sudah malam. Kansahamnida ucapannya.”

“Cheonmaneyo. Kau juga jangan terlalu memaksakan diri ya.”, dan line telepon pun terputus.

Kupandangi lagi LCD handphoneku. Fotoku bersama Seul Ong oppa, tepat setahun yang lalu, pada tanggal yang sama. Foto yang kami ambil di taman bermain. Perlahan rasa rindu menggerogotiku dan berkecamuk hingga rasanya ingin segera kuluapkan semua rasa itu, tetapi entah pada siapa harus ku luapkan. Aku hanya bisa menunduk sambil menahan tangis sampai akhirnya…

“Hae…Ra…ah…”

Ah. Saking sedihnya aku sampai berhalusinasi Seul Ong oppa memanggil namaku. Ah. Kenapa sekarang aku berhalusinasi dia membelai rambutku? Apakah aku terlalu rindu?

“Hae…Ra…ah…”

Untuk kali ini, aku rasa aku sudah kembali ke akal sehatku. Ku angkat wajahku. Kemudian dengan segera tidak percaya dengan apa yang aku lihat di depan mataku. Air mataku langsung tumpah seketika begitu tahu kalau…

“Ke…kenapa…kau mena…ngis…?”, tanyanya dengan suara yang lemah.

Tanpa ragu lagi aku langsung memeluknya. Melepaskan semua rasa rindu yang telah kutahan setahun ini. Betapa rindunya aku dengan suaranya. Suaranya ketika dia memanggilku. Hangatnya tangan oppa ketika dia membelai rambutku. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan oppa. Sampai akhirnya perawat yang biasa piket malam yang tiba-tiba masuk langsung menutup lagi pintunya. Tetapi sesegera mungkin masuk kembali karena pasien yang setahun koma itu kini sudah sadar. Dengan segera perawat itu memisahkan kami dan memeriksa Seul Ong oppa.

“Akhirnya, kamu bangun juga. Besok pagi akan aku panggilkan dokter untuk memeriksamu lebih jauh.”, kata perawat itu kemudian dia memesankan padaku untuk memanggilnya apabila ada apa-apa. Aku pun langsung menggangguk. Kemudian perawat itu berlalu.

“Kau banyak berubah ya, Hae Ra-ah…”, kata oppa, dengan suara yang lemah. Mungkin karena efek koma yang membuatnya dia tidur panjang hingga tadi.

“Haha, tidak juga kok.”, kataku, salah tingkah. Entah harus bicara apa di kondisi seperti ini.

“Sudah…berapa lama aku tertidur?”, tanyanya. “Jawab yang sebenarnya, ya?”

“Tepat satu tahun, oppa. Kau tertidur selama satu tahun lamanya.”, jawabku sambil mencoba untuk tersenyum. Sebenarnya aku ingin menangis saat ini juga. Bukan menangis sedih, tapi seperti air mata bahagia. Tapi aku tak ingin membuat oppa khawatir. Ku coba sebisa mungkin menahan air mata yang seperti nya sudah tidak tertampung lagi.

“Oh…”, jawabnya, sambil menerawang. Kemudian menatapku lagi. “Mianhae, Hae Ra-ah. Sudah membuatmu menunggu selama itu.”, dan tiba-tiba air mataku menetes perlahan. Melihatku menangis, Seul Ong oppa langsung berusaha berdiri, tetapi aku langsung menghapus air mataku dan menghampirinya, kemudian mendorongnya pelan agar dia bisa dalam posisinya semula.

“Hei, aku sudah cukup lama tertidur , tahu.”, katanya, sambil tersenyum nakal. Walaupun suaranya masih lemah, tetapi dia masih seperti dulu. Aku pun membantunya untuk duduk, dan mengubah posisi tempat tidurnya ke posisi yang nyaman untuk duduk.

“Ah! Aku harus memberitahu omma. Dan juga ahjumma. Unnie juga!.”, aku langsung menekan speed dial masing-masing dan memberitahu bahwa Seul Ong oppa sudah sadar. Tetapi karena jam berkunjung tidak ada pada tengah malam seperti ini, mereka akan berangkat pagi-pagi sekali besok. Aku pun mengiyakan. Ahjumma juga sempat berbicara dengan oppa. Pasti ahjumma menangis di seberang sana. Aku tahu rasanya, karena aku merasakannya juga.

“Tak terasa sudah selama itu aku tertidur.”, kata Seul Ong oppa. Kemudian oppa melihat ke kalender yang tak sengaja terlihat di samping tempat tidurnya.

“Tanggal berapa sekarang?”, tanyanya.

“Tanggal 14 Februari, oppa. 14 Februari 2010.”, jawabku spontan sambil memainkan handphoneku sembari memberitahu kawan-kawan yang lain bahwa Seul Ong oppa sudah sadar.

“Saengil chukae, Hae Ra.”, katanya, tiba-tiba.

Aku pun langsung berhenti dari aktivitas apapun yang sedang aku kerjakan sekarang dan hanya fokus pada kata-kata yang di ucapkan Seul Ong-oppa­. Aku pun tidak tahu harus merespon seperti apa, beberapa detik kemudian aku meresponnya dengan meneteskan air mataku. Aku bergeming. Tidak tahu harus berbuat apa. Seul Ong oppa langsung menyeka air mataku dengan ibu jarinya, kemudian membawaku ke pelukannya. Aku pun membalasnya dengan memeluknya, erat.

“Gomawoyo, oppa.”



#Im Seul Ong’s Point Of View

February, 14th 2010, 00.15 a.m.



Kubiarkan Hae Ra menangis sejadi-jadinya, dalam pelukanku. Sudah sangat lama aku tertidur, beruntungnya, aku masih bisa bangun sekarang, setelah koma berkepanjangan. Aku merasa sangat bersalah pada Hae Ra, omma, dan orang-orang disekelilingku. Aku telah membuat mereka khawatir terlalu lama. Ku pandangi sosok dalam pelukanku, sepertinya sudah tenang. Kucoba untuk melihat wajahnya. Ah, dia tertidur. Pasti dia terlalu lelah menjagaku. Ku posisikan Hae Ra tepat terbaring di sampingku. Setelah menutup badannya dengan selimut, aku pun menerawang. Ternyata sudah selama itu aku tertidur. Begitu cepat waktu berlalu. Pasti begitu banyak beban yang omma dan Hae Ra rasakan. Walaupun jika kutanya nanti pasti dia akan menjawab tidak merepotkan.

Ku seka rambut Hae Ra yang berjatuhan dan menutupi matanya. Ku pandangi Hae Ra dalam-dalam. Dia berbeda sekali dari Hae Ra yang setahun lalu kuingat. Sekarang Hae Ra tampak dewasa. Rambutnya sudah lebih panjang dari yang terakhir aku lihat. Jauh lebih panjang. Betapa beruntungnya aku, masih ada yang mau menjagaku, sampai setahun lamanya, seperti yang aku alami sekarang ini. Aku pun tidak menyangka yang pertama aku lihat di depanku adalah Hae Ra. Aku sungguh bersyukur. Ah, ya. Hari ini ulang tahunnya. Aku tidak tahu harus memberikan apa padanya tahun ini. Aku tidak bisa kemana-mana sekarang, ataupun pagi, atau siang nanti. Aku ingin membuat ulang tahunnya tahun ini berkesan, dan juga sebagai permintaan maaf dariku padanya karena aku telah merepotkannya setahun ini. Aku memutar otakku, apa yang harus aku lakukan tahun ini. Kupandangi handphoe Hae Ra yang tergeletak di meja samping tempat tidurku. Ku ambil handphonenya, dan mencari nama Yoon Ha Neul, kakak perempuan Hae Ra. Sambil menunggu telepon tersambung, aku terus membelai rambut Hae Ra, kemudian tanpa sadar aku tersenyum saat menatapnya sambil tertidur. Lucu juga tampangnya kalau sedang tidur. Kemudian…

“Yoboseyo?”

“Ha Neul-sshi, ini Seul Ong. Mianhae mengganggu malam-malam. Tetapi ada yang ingin kutanyakan padamu.”

“Ah, Seul Ong-sshi. Gwenchana, aku senang kau sudah sadar sekarang. Pasti adikku disana senang sekali ya. Bagaimana keadaan mu sekarang? Hae Ra sedang apa? Ah, ya apa yang ingin kau tanyakan?”

“Kansahamnida. Keadaanku baik-baik saja sekarang. Hae Ra-ah sedang tidur sekarang. Itu, hari ini apa ya, yang kira-kira bisa aku lakukan di ulang tahunnya?”

“Tapi kan kau baru saja sadar? Tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa. Sekalian aku juga ingin menyampaikan maafku padanya, sudah merepotkannya, dan merepotkan yang lainnya juga.”

“Hmm, bagaimana kalau itu saja?”



February, 14th 07.00 a.m.




Setelah menelpon kakak perempuan Hae Ra semalam, aku baru bisa tidur jam 3 pagi dan terbangun jam 6. Hei, itu sudah cukup bagiku, aku sudah tidur setahun lamanya. Kulihat di sebelahku, Hae Ra masih tertidur pulas. Ku seka lagi rambutnya yang berjatuhan menutupi matanya, dan karena itu lah Hae Ra terbangun. Dia pun mengerjapkan matanya perlahan, kemudian bangkit. Aku pun membantunya untuk bangkit. Kemudian setelah kesadarannya, sepertinya, telah terkumpul semua, dia melihat sekeliling, dan mendapatkan dirinya sedang tidur di tempat tidurku, di sampingku. Dia salah tingkah. Terlihat dari tingkahnya yang aneh, seperti menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencari handphonenya yang berada di belakangnya, serta tampak mencari-cari sesuatu. Kemudian dia membuka selimut, kemudian menatapku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dengan tertawa yang tertahan.

“Oppa…tidak melakukan apa-apa kan?”, tanyanya, kemudian menutupi badannya dengan selimut.

Ketawaku pun pecah. Kemudian aku pun menarik Hae Ra ke pelukanku, erat.

“Tentu tidak, chagiya.”, sambil mengacak-acak rambutnya. Dia pun membalas pelukanku. Sampai kemudian…

“Seul Ong-ah! Omma bawa makanan kesukaanmu!”, omma tiba-tiba menerjang masuk di kala posisi kami sedang, ya, seperti itu.

“Omo, sepertinya kau bisa langsung pulang detik ini juga kalau kau sesehat ini. Maaf mengganggu ya. Tapi ahjumma harus memberi makan anak yang satu ini dulu, kalau tidak hanya akan tersisa tulang saja pada dirinya.”, dan omma pun menghampiriku dan meletakkan kotak bekalnya di samping tempat tidurku. Hae Ra pun turun dari tempat tidurku dan merapikan bajunya. Kemudian menuju ke kamar mandi, sepertinya cuci muka.

“Omma harusnya ketuk pintu dulu sebelum masuk.”, kataku, dengan suara yang dikecil-kecilkan. Takut Hae Ra dengar.

“Mianhae. Hehe. Sudah-sudah. Sekarang yang penting kau makan saja dulu. Kalau Hae Ra sudah keluar suruh dia makan juga. Ibu ada janji dengan ibu Hae Ra dan kakak perempuannya. Nanti kau akan kami beritahu. Oh ya, ini handphonemu. Kami akan memberitahu kau nanti.”, kata omma sambil menyerahkan handphoneku.

“Ah, yang itu ya omma? Pokoknya aku mau yang berkesan ya, omma. Aku percayakan padamu, ahjumma dan Ha Neul-sshi.”

“Tenang saja lah. Kami tidak akan mengecewakanmu. Omma pergi dulu ya.”, dan omma pun menghilang di balik pintu. Dan beberapa menit kemudian Hae Ra pun keluar dari kamar mandi.

“Mana ahjumma?”, tanyanya.

“Pergi. Sepertinya ada urusan penting. Ayo, makan dulu. Omma sudah menyiapkannya lumayan banyak. Aku tidak akan sanggup menghabiskannya sendiri.”

“Berhubung aku sedang lapar, jadi, baiklah, aku terima!”, katanya sambil tersenyum ceria.

Setelah selang waktu makan beberapa menit, aku pun memberanikan diri untuk menanyakan apakah ada yang ia inginkan.

“Tadinya ada. Tapi sekarang tidak lagi. Aku tahu kalau oppa sudah sadar sekarang, itu sudah membuatku bahagia. Itu merupakan anugrah terindah tahun ini.”, jawabnya sambil tersenyum menatapku.



February, 14th 2010, 05.00 p.m.

“Suster, aku ingin berjalan-jalan malam ini bersama Hae Ra, boleh?”, tanyaku pada suster yang memeriksa keadaanku sore ini. Tentu saja dengan memberikan sedikit kode-kode ketika Hae Ra tidak melihat ke arahku. Tampaknya suster itu belum sadar juga. Ku ambil handphoneku, ku ketik kata-kata yang ingin tak bisa aku ucapkan pada suster itu keras-keras, lalu kutunjukkan padanya. Suster itu tampak tidak setuju pada awalnya sambil menggeleng kecil padaku. Kupaksa sedikit dengan tatapan memelasku. Yes! Akhirnya boleh!

“Tapi hanya hari ini saja ya. Tidak boleh terlalu malam loh. Jangan bilang-bilang sama suster kepala loh. Nanti aku kena marah”, kata suster itu. “Hae Ra-sshi, jangan kemalaman ya jalan-jalannya.”, perintah suster itu pada Hae Ra.

“Eh? Memangnya kita mau kemana, oppa?”, tanya Hae Ra, dengan mukanya yang polos.

“Tunggu aku jam 8 di gerbang timur taman bermain ya.”, jawabku sambil tersenyum.



#Author’s Point of View


February, 14th 2010, 08.00 p.m.


Seperti yang dijanjikan, Hae Ra menunggu Seul Ong di gerbang timur taman bermain yang mereka datangi tahun lalu, di hari yang sama. Hae Ra melihat jam tangannya, sudah 5 menit dari jam 8 ternyata. Die melihat sekeliling, berharap sosok yang dikenalnya datang.

“Hae Ra-ah.”, Seul Ong memanggil dari balik keramaian orang-orang yang berseliweran di taman bermain. Seul Ong datang dengan menggunakan kursi roda, karena dia baru saja bangun dari koma, jadi masih belum dibolehkan untuk berjalan dulu beberapa hari. Hae Ra pun menghampiri Seul Ong dan menyapanya dengan senyum mengembang.

“Oppa.”, sapa Hae Ra sambil berlari kecil. “Oppa benar-benar tidak apa-apa kan?”

“Ne, gwenchanayo.”, jawab Seul Ong, sambil membalas senyuman Hae Ra. “Kita naik bianglala, yuk?”

Senyum Hae Ra mengembang saat kalimat Seul Ong selesai. Hae Ra benar-benar senang keinginannya tahun lalu bisa diwujudkan sekarang. Dan Seul Ong tahu itu. Kemudian mereka pun mulai berjalan ke arah tempat bianglala. Anehnya, tempat itu sepi dan hanya ada mereka berdua. Mereka pun langsung di sambut oleh penjaga bianglala.

“Silakan masuk. Oh, jadi itu nona yang beruntung ya?”, kata pegawai itu sambil tersenyum pada Seul Ong. Seul Ong hanya membalasnya dengan senyum ketika Hae Ra melihat pegawai itu dan melihatnya dengan pandangan tidak mengerti. “Selamat menikmati. Oh ya nona, ini ada bingkisan dari kakak perempuan dan ibu anda.”, katanya sambil menyerahkan bingkisan pada Hae Ra. Hae Ra pun mengucapkan terima kasih pada pegawai itu dan memasuki salah satu kabin bianglala itu bersama Seul Ong.

“Oppa, boleh ku buka sekarang?”, tanya Hae Ra, dan bianglala pun bergerak.

“Hei, itukan hadiahmu. Kamu bisa membukanya kalau kamu mau, chagiya.”, kata Seul Ong sambil tersenyum. Wajah Hae Ra langsung memerah dan menundukkan kepala, sambil pura-pura membuka bingkisan dari ibu dan kakaknya. Ternyata isinya hanya sepotong kertas dengan tulisan:

Lihat ke bawah, dan kamu akan menemukan keindahan hari ini, yang pertama ^^

Tanpa buang waktu dan ketika kabin yang mereka tempati berada di posisi puncak, Hae Ra langsung melihat ke bawah, sesuai dengan isi kertas itu. Hae Ra melihat beberapa buah lilin yang berbentuk tulisan “HAPPY B’DAY Hae Ra!” dan tampak ada dua orang yang melambai-lambai dengan menggunakan light stick warna merah. Hae Ra yang langsung menyadari itu adalah omma dan unnie nya langsung melambaikan tangannya dari balik kaca kabin bianglala sambil tersenyum dan menatap Seul Ong dengan mata yang berkaca-kaca. Seul Ong membalas senyumnya dan langsung membawa Hae Ra ke pelukannya. Membiarkan Hae Ra menangis.

“Tapi itu baru hadiah pertama loh. Masih ada yang menanti di bawah sana.”, ujar Seul Ong. Hae Ra menghapus air matanya sambil menatap Seul Ong penasaran. Kejutan apa lagi yang bakal diberikan oleh namja ini, omma dan unnienya nanti?

Dan bianglala pun mencapai finish. Hae Ra keluar duluan untuk membantu Seul Ong keluar dan mendudukannya kembali di kursi roda. Mereka berdua menuju ke tempat omma dan unnie Hae Ra. Hae Ra langsung memeluk mereka berdua.

“Gomawo omma, unnie. Kejutan tahun ini indaaaaaaaah sekali.”, kata Hae Ra sambil tersenyum lebar.

“Masih ada satu lagi.”, ujar unnie nya Hae Ra. Kemudian omma nya Hae Ra tampak memerintahkan beberapa orang untuk meletakkan sesuatu di antara lilin-lilin yang Hae Ra lihat tadi. Piano! Dan Seul Ong pun langsung menghampiri piano itu.

“Yah, walaupun sudah setahun aku tidak menyentuh piano, tapi aku selalu ingin memainkan lagu ini untukmu, Hae Ra.”, kemudian Seul Ong pun langsung menyentuh tuts piano itu, dan mulai bernyanyi.



naege eonjen-ga wattdon neo-ye eolgureul gi-eokhae

meomchwoittdeon nae mameul mibgedo gojang nan nae gaseumul

neo-ye hanhan misoga sibgedo yon-geoya


*Itu selalu muncuk di depanku, wajahmu

Aku ingat, jantungku yang berhenti sejenak waktu itu

Kau dengan mudah mengambil hatiku

Dan dengan senyumanmu

Itu lah caramu membuka hatiku dengan mudah



geurae geureohke naega neo-ye sarami dwen geoya

motnattdeon nae joo okdeuri ijen giokjoo cha an na

nareul kkok jameul soni boomcheoram ttatteuthaeseo

*Itu benar, itu lah caranya bagaimana aku menjadi lelakimu

Kenangan yang buruk, aku sudah tidak mengingatnya lagi

Karena tangan yang selalu menggenggam tanganku ini,

Hangat, sehangat musim semi



ije kkumcheoreom nae mameun keudae gyott'e kamanhi meomchwoseoyo

han sun-gando kkae-ji anhneun kkeut'obneun kkumeul kkwoyo

*Dan sekarang seperti mimpi, hatiku

secara teratur berhenti karenamu

Tanpa adanya kesempatan untuk bangun

Aku memimpikan mimpi yang abadi





ije sumcheoreom nae gyot'e hangsang swimyo geureohke isseojumyon

Nothing better, nothing better than you

Nothing better, nothing better than you


*Dan sekarang seperti udara, jika kau tetap disini, di sampingku, tetap seperti ini

nothing better nothing better than you

nothing better nothing better than you



ije kkumcheoreom nae mameun keudae ppume kamanhi an-gyo-ittjyo

han sun-gando kkae-ji anhneun kkeut'obneun kkumeul kkoojyo


*Dan sekarang seperti mimpin, hatiku dalam rangkulanmu, tetap bertahan

Tanpa terbangun sedikitpun, aku bermimpi tentang mimpi yang abadi



ije sumcheoreom nae gyot'e hangsang swimyo geureohke isseojumyon

Nothing better, nothing better than you

Nothing better, nothing better than you

Nothing better, nothing better than you


* Dan sekarang seperti udara, jika kau tetap disini, di sampingku, tetap seperti ini

nothing better nothing better than you

nothing better nothing better than you

nothing better nothing better than you



February, 14th 2014, 10 a.m.

“Yeobo, kita naik bianglala yuk!”, ajak Hae Ra sambil berlari-lari menuju tempat antrian bianglala.

“Hati-hati ja- .” BRUK! Hae Ra pun jatuh. Seul Ong pun langsung berlari ke arah nya dan memeriksa apakah ada yang salah. “Kamu sih, lari-lari. Padahal sudah tahu pakai sepatu hak tinggi. Mana yang sakit?”, tanyanya sambil memeriksa apakah ada yang luka.

Cup! Tiba-tiba Hae Ra mencium bibir Seul Ong dengan cepat, lalu berdiri dan berlari dengan cepat. “Tertipu!”, lalu menjulurkan lidahnya. Seul Ong yang merasa malu karena tiba-tiba Hae Ra menyerangnya di muka umum langsung mengejarnya.

“Kau tidak bisa lari, Nyonya Im Hae Ra!”

Wednesday, July 13, 2011

My Fated One

Aku menuju ruangan itu dengan langkah gontai. Terlalu berat bagiku untuk mengakui semua yang terjadi ini adalah salahku. Ya, salahku. Aku yang menyebabkan hari ini jadi seperti ini. Dan orang itu juga.
“Yoo Ra-ah, annyeong.” Aku berusaha tersenyum ketika aku sampai ruangan itu. Kulihat sosok yang hanya diam di hadapanku.

“Maafkan aku, Yoo Ra-ah. Seharusnya memang aku lebih berhati-hati saat itu.”
Aku mendengar suara pintu terbuka. Aku pun berdiri untuk memberi hormat pada wanita yang mendekati kami. Wanita itu tersenyum.

“Kibum-ah sudah datang rupanya. Sudah sarapan? Apakah masih sibuk dengan jadwal dari kantor? Terima kasih, ya, sudah sempat datang.”

Aku hanya menggangguk. Ya, jadwalku memang padat setelah aku menjadi bagian dari Super Junior. Yoo Ra kesepian sejak aku mulai disibukkan dengan jadwal-jadwal yang super padat itu. Memang, Yoo Ra tidak pernah bilang padaku. Dia selalu menyuruhku untuk fokus pada pekerjaanku sekarang. Tetapi lagi-lagi hati tidak bisa berbohong. Terakhir kali aku melihat postingan pada akun jejaring sosialnya, hampir semuanya mengarah pada kenyataan bahwa dirinya kesepian.

Aku memang hampir tidak pernah lagi membuka akunku sejak aku debut. Aku disibukkan dengan berbagai latihan baik itu menari, menyanyi, disertai dengan berbagai jadwal gila lainnya. Sudah hampir setengah tahun aku seperti ini. Dan setengah tahun itu lah aku meninggalkan Yoo Ra.

Gwenchana, oppa. Aku tahu kau sibuk.”

Selalu kata-kata ini yang kudengar ketika aku sedang ada waktu luang, untuk menelponnya, menanyakan kabarnya. Aku rindu suaranya. Aku merindukan senyumannya. Tapi seluruh kesibukkan ini menguji kesabaranku, juga kesabarannya. Hingga aku memberanikan diri untuk mangkir dari jadwal kerjaku yang padat itu.

***

“Yoo Ra-ah, besok kita jalan-jalan, ya? Yoo Ra mau kemana besok?” tanyaku ketika aku selesai latihan dance bersama member lainnya.

“Bukannya oppa ada jadwal besok pagi? Sorenya juga ada konferensi pers untuk single baru kan? Gwenchana, oppa. Jadi penyanyi memang impian oppa kan? Aku akan menontonmu dari rumah besok.”

Para member mulai berkumpul mengelilingiku. Bahkan Heechul hyung menyuruhku agar aku menekan tombol loudspeaker. Aku menggeleng. Dan dengan cepat Heechul hyung merebut ponselku dan menekan tombol loudspeaker itu.

“Yoo Ra-ah, annyeong!” Heechul hyung mengambil alih ponselku sekarang. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku melihat tingkah laku hyung. Member lain pun mendekat setelah ponselku diambil alih.

“Ah, Heechul oppa, annyeonghaseo.” Aku berani taruhan Yoo Ra sedang menundukkan kepalanya diseberang sana. Sudah menjadi kebiasaan Yoo Ra untuk menundukkan kepalanya di telepon kalau dia mengucapkan annyeonghaseo pada orang yang dia hormati.

"Kibum baik-baik saja disini. Kamu tenang saja. Dia tidak akan kami biarkan main-main dengan wanita lain selain kamu.” Heechul hyung mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku hanya bisa tersenyum kecil.

Ne, oppa. Aku titip Kibum oppa ya, oppadeul.” Seluruh member menjawab ‘Ne’ secara serempak. Aku langsung merebut ponselku dan menuju koridor yang sepi.

“Besok oppa ada waktu luang dari jam 12 sampai jam 4 sore. Tunggu oppa di taman bermain yang biasa kita datangi, ya?”

“Tidak apa-apa ditempat ramai seperti itu? Manajemen oppa melarang Super Junior untuk berpacaran, kan? Kalau ketahuan bagaimana, oppa?”

“Jam 12 tepat di gerbang barat. Jangan terlambat, ya. Aku lanjut latihan dulu.”

Ne.”

Dan sambungan telepon pun terputus.

“Heechul hyung.” aku memanggil Heechul hyung yang sedang mengotak-atik ponselnya di sudut ruangan latihan. Sementara member lain sedang dengan kesibukannya masing-masing.

”Temani aku cari hadiah malam ini, bisa? Heechul hyung tidak ada jadwal kan malam ini? Kebetulan aku lagi kosong juga.”

“Untuk Yoo Ra?”
“Ya.”
“Dalam rangka apa?”
“Besok hari ulang tahunnya.”

***

Aku menoleh ke arah jam tanganku. Sudah jam 12 lebih 5 menit. Aku menyuruh manajer hyung untuk menyetir lebih cepat. Aku sudah terlambat dari janjiku. Padahal aku sudah memberikan yang terbaik pada acara musik itu. Tetapi kenapa PD itu malah lebih banyak tidak puasnya pada penampilan kami? Padahal sudah sesuai dengan yang diperintahkan PD itu. Untungnya selesai hari ini juga. Kalau tidak, aku bisa terancam tidak bertemu Yoo Ra.

Hyung, lebih cepat lagi. Aku sudah terlambat 15 menit.”
Jarak tempat syuting kali ini memang agak jauh dari taman bermain tempat kami bertemu. Hyung pun menambah kecepatan. Dan akhirnya kami sampai dalam waktu 20 menit.

“Ingat ya, hanya sampai jam setengah 4 sore. Nanti aku akan menelponmu. Pakai kacamata dan topimu. Jangan sampai ketahuan orang lain. Kau tahu sendiri akibatnya.” Hyung memberiku kacamata hitam dan topi untuk menyamarkan penampilanku. Aku hanya menggangguk sebagai respon.

Aku pun keluar dari mobil setelah mengambil hadiah dan sebuket bunga, kemudian pamit pada hyung. Aku langsung berlari secepat yang aku bisa ke gerbang barat. Aku melihat Yoo Ra dengan dress selutut warna putih dan dengan bandana yang sewarna, kesukaannya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku.

Aku memutuskan untuk menghampirinya dari belakang. Aku mendekati Yoo Ra dengan sembunyi-sembunyi. Mungkin orang-orang di sekelilingku melihatku aneh, tapi tidak apalah. Mereka tidak mengenaliku. Dan akhirnya aku sampai di persis dua meter di belakang Yoo Ra. Dan…

Annyeong, oppa.” Yoo Ra berbalik ke arahku dan tersenyum.

“Yah, ketahuan ya? Haha. Saengil chukae. Ini. Bunga lili kesukaanmu. Dan ini, hadiah ulang tahun.” aku pun memberinya buket bunga dan hadiah yang aku siapkan dengan Heechul hyung semalam. “Maaf, tahun ini biasa saja. Lain kali tidak begini lagi.” aku menundukkan kepalaku, menyesal karena tidak sempat memberinya event apapun.

Yoo Ra menggelengkan kepalanya. “Aniyo, oppa. Oppa meluangkan waktu untukku hari ini saja aku sudah sangat senang.” Yoo Ra tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar. Dan saat itu juga aku merasa bersalah.

“Memang seharusnya aku tidak usah jadi member Super Junior, ya?” tanyaku pada Yoo Ra. Yoo Ra menggeleng lagi.

Oppa tidak boleh begitu. Sekarang keinginan oppa sudah terwujud. Tidak boleh oppa sesali lagi. Lagipula, aku senang oppa jadi apa yang oppa inginkan. Aku senang oppa bisa dikenal banyak orang. Disayangi para fans. Aku yakin oppa bakal jadi entertainer hebat nantinya.”

Aku terdiam mendengar ucapan Yoo Ra. Tanpa aku sadari aku menarik Yoo Ra dalam pelukanku. Erat. Erat sekali aku memeluknya. Aku tidak mau melepaskannya. Aku tidak mau membuatnya sedih. Tidak peduli dengan tatapan orang disekitar kami. Aku tidak ingin melepaskannya.

Oppa…sakit…” aku pun melepaskannya. Kemudian dengan cepat mengecup pipinya. “Maaf ya. Masuk, yuk.” Aku pun memegang tangannya, dan kencan kami pun dimulai.

***
Oppa, kita foto, ya?” Yoo Ra menarikku ke arah photo booth. Aku mengikutinya tanpa melepaskan tangannya. Sesekali topiku hampir lepas dan aku harus membenarkan posisinya agar aku tidak ketahuan. Dan akhirnya kami masuk ke dalam photo booth.
Oppa, boleh minta sesuatu?”
“Apa?”

Yoo Ra meletakkan kado dan buket bunga di samping kakinya. Kemudian dia mengarahkan tangannya ke kepalaku. Dia mengambil topiku.

“Yoo Ra-ah, nanti – “
Dia menghentikan pembicaraanku dengan meletakkan jari telunjuknya di bibirku. Kemudian tangannya mengarah ke wajahku. Perlahan dia lepaskan kacamataku. Kemudian melipatnya dan menaruhnya di saku jaketku.

“Nah, lebih baik sekarang.” Katanya, kemudian menekan tombol start pada photo booth.
“Nanti ketahuan, bagaimana? Kamu mau kita pisah?” tanyaku pada Yoo Ra yang sedang sibuk dengan pengaturan photo booth.

Selesai mengatur, dia melihat ke arahku. “Aniyo. Tentu saja aku tidak mau kita pisah, oppa. Tapi bisa tidak, untuk sekali ini saja, aku melewatkan hari ulang tahunku, dengan Kim Kibum yang sebenarnya? Bukan Kim Kibum Super Junior yang dielu-elukan para fansnya di luar sana?”

Yoo Ra menghadap ke kamera. Aku otomatis mengikutinya. Yoo Ra tersenyum, aku pun tersenyum.

Kemudian di lanjutkan dengan foto kedua, ketiga, dan foto terakhir. Sesi pertama photo booth kami lewati.

“Aku kesepian, oppa.”

Walaupun dia mengatakan kalimat terakhir dengan suara yang sangat kecil, aku masih bisa mendengarnya. Jung Yoo Ra, kesepian.

Mianhae.” Aku mengecup pipinya, cepat. Dan seiring dengan itu lampu flash dari photo booth menyala.

***

Oppa, ponsel oppa bunyi.” Yoo Ra yang sedang makan eskrim tiba-tiba menunjuk ke arah ponselku yang kuletakkan di atas meja tempat kami menikmati eskrim sekarang. Dari hyung. Aku tersentak. Aku melihat ke arah jam tanganku. Sudah jam setengah 4.

“Yoo Ra-ah, oppa harus pergi. Mianhaeyo.” Aku buru-buru memakai jaket yang tadi kulepas dan memasukkan ponselku ke kantung jaket. Setelah membenarkan posisi kacamata hitam dan topiku, aku pun setengah berlari ke arah pintu gerbang barat tempat hyung menurunkanku tadi. Ponselku terus berbunyi.

Ne, hyung. Aku sedang mengarah kesana. Apa? Hyung ada diseberang jalan tempat aku turun tadi? Ne. Sebentar lagi aku sampai.” Aku mematikan sambungan. Ah, itu dia mobil hyung. Tepat di seberang. Aku pun dengan cepat melewati jalan menuju mobil.

Oppa! Awas!” aku merasa tubuhku terdorong dengan keras. Aku pun mendarat tepat di samping mobil hyung. Aku langsung melihat ke arah jalan. Ingin tahu apa yang menyebabkan aku terdorong begitu keras, dan apa yang menyebabkan aku harus terjatuh seperti ini.

“Kibum¬ah. I-itu – “ hyung langsung keluar dari mobil. Pandangannya terpaku pada arah yang sama denganku. Pada seseorang yang terkapar di jalan yang aku lewati tadi. Yang menyelamatkanku dari yang seharusnya aku dapatkan sekarang.

Pandanganku tetap terpaku. Tidak percaya dengan apa yang kulihat sekarang.

***

Aku mendapat teguran keras dari CEO ku, karena aku mangkir dari pekerjaan. Manajemenku sudah tahu bahwa aku membina hubungan khusus dengan Yoo Ra. Aku memohon pada mereka untuk merahasiakannya dari publik, karena memang pada saat kejadian aku tetap pada penyamaranku. Jadi aku berani menjamin identitasku tidak diketahui siapapun.

Yoo Ra mengalami gegar otak ringan. Dan terdapat beberapa luka di sekujur tubuhnya. Aku hanya menatapnya. Lagi-lagi ini yang hanya bisa kulakukan. Diam.

Aku sengaja mematikan ponselku. Aku sudah meminta pada manajer hyung untuk membiarkanku istirahat untuk hari ini saja. Walaupun itu hampir mustahil, dan akhirnya nanti aku akan mendapatkan teguran keras lagi dari CEO manajemenku. Ah! Biarlah! Aku lelah dengan semua ini!

“Kibum-ah, sudah makan? Bibi sudah buatkan bekal tadi di rumah selama kamu berjaga disini. Jangan sampai sakit juga. Yoo Ra pasti tidak mau kamu sakit, ya?” Bibi menepuk bahuku pelan sambil meletakkan bekal di meja yang berada tepat disebelah kananku. Aku benar-benar merasa bersalah. Setelah semua yang terjadi pada Yoo Ra, bibi masih memperlakukanku seperti ini.

“Apakah saya masih pantas dengan Yoo Ra? Setelah semua yang terjadi pada Yoo Ra?” akhirnya aku mengeluarkan apa yang menjadi ganjalan di hati. Aku tidak berani mengangkat wajahku setelah mengatakan hal itu. Aku takut akan ada respon negatif.

Aku merasakan sentuhan hangat di pundakku. Aku mengangkat wajahku dan menatap wajah wanita yang melahirkan Yoo Ra. Beliau tersenyum. Senyumannya membawa kehangatan tersendiri untukku.
“Selama Yoo Ra yakin dengan pilihannya, Bibi tidak akan melarangnya. Bibi yakin, yang Yoo Ra pilih sekarang itu memang yang terbaik untuk Yoo Ra. Jaga dia. Jangan sampai seperti masa lalu Bibi.” Bibi berhenti sebentar dan melihat ke arah Yoo Ra. “Jangan lupa dimakan bekalnya. Kalau ada apa-apa dengannya langsung hubungi Bibi. Bibi pulang sebentar beres-beres rumah dan membereskan baju-baju untuk Yoo Ra.”

Aku mengangguk, kemudian mengantar bibi sampai pintu kamar. Setelah itu aku langsung membuka bekal makanan yang diberikan bibi padaku. Aku memakannya hingga tak tersisa. Sudah lama aku tidak makan makanan buatan sendiri seperti ini sejak aku debut. Hal-hal kecil seperti ini saja sudah membuatku rindu dengan suasana lingkunganku yang dulu.

Makanpun selesai. Aku membereskan kembali kotak bekal, kemudian mengambil segelas air dan meminumnya. Waktu sudah menunjukkan jam 2 siang. Cuaca di luar sana membuatku mengantuk. Aku merasa mataku berat. Dan akhirnya aku pun terlelap.

***

Aku merasakan sesuatu yang membangunkanku. Perlahan kubuka mataku, kuangkat wajahku dan melihat apa yang membangunkanku.

“Yoo Ra-ah…” aku langsung membawanya ke dalam pelukanku. Aku tidak tahu apa yang harus aku ucapkan padanya. Aku senang dia bangun dari tidurnya. Di sisi lain, aku merasa bersalah. Aku merasa menyesal kenapa aku harus memilih debut dari pada Yoo Ra.

Oppa, sesaaaaak.” Katanya sambil berusaha melepaskan pelukanku. Aku tidak ingin melepasnya. Aku takut hal yang sama akan terjadi lagi.

Oppa, gwenchana. Uljhima.” katanya sambil menepuk pelan punggungku. Air mataku tidak dapat kutahan lagi. Aku sudah banyak bersalah padanya. Aku tidak tahu lagi harus apa untuk menebus kesalahanku.

Aku sedikit tenang dan melepaskan pelukanku. Aku melihat wajah Yoo Ra yang tersenyum. Aku hanya bisa tersenyum.

“Aku bangun dari 1 jam yang lalu.” katanya, mengawali pembicaraan kami. “Baru kali ini aku lihat oppa tidur seperti itu. Oppa jangan memaksakan diri. Oppa kan akan terkenal seperti Rain oppa dan BoA unnie, jadi oppa –“

“Aku ingin berhenti jadi entertainer.”
Aku tahu Yoo Ra pasti kaget dengan keputusanku. Aku tahu keputusanku terlalu mendadak. Tapi kalau memang keputusanku ini harus mengorbankan Yoo Ra sampai seperti ini, lebih baik aku mundur saja.

Oppa merasa bersalah karena keadaanku begini sekarang?”
Aku diam. Ya, mungkin memang ini salah satu alasan mengapa aku membuat keputusan ini. Aku sadar, selama aku memulai debutku, konsentrasiku terbagi. Di satu sisi, aku ingin memulai karirku yang susah payah aku gapai. Dan disisi lain aku ingin tetap menjaga agar hubungan kami tetap seperti biasa.

“Aku hanya ingin melindungi oppa, itu saja. Aku merasa aku harus menjaga impian oppa. Kalau oppa kecelakaan, tentunya oppa tidak akan seperti ini sekarang. Tertidur pulas dan menikmati waktu senggangnya.” ujarnya sambil tersenyum lagi.

“Tapi, karena aku tadi kamu kecelakaan, Yoo Ra-ah! Untung kamu hanya luka ringan! Kalau lebih parah bagaimana?! Kalau kamu sampai terluka parah bagaimana?! Kalau bagian dari dirimu ada yang hilang bagaimana?!” tiba-tiba aku menaikkan volume suaraku. Aku merasa marah. Sangat marah. Bukan pada Yoo Ra. Tapi pada diriku sendiri.

"Aku percaya, oppa tidak akan meninggalkanku.” jawabnya. Aku menatapnya tidak percaya. “Kalau aku memang harus ditakdirkan seperti itu, oppa akan tetap bersamaku, kan? Karena itu, aku harus melindungi impian oppa. Karena kalau oppa yang mengalami kecelakaan ini, aku tidak bisa menggantikan oppa mewujudkan impian oppa. Impian oppa harus dicapai oleh oppa sendiri.”

Aku masih menatapnya. Mencerna kata per kata yang dia ucapkan.

“Karena impianku adalah, apabila impian oppa tercapai, dan oppa bahagia berkat pencapaian itu.”
Saat detik itu, aku percaya, aku memang ditugaskan untuk menjaga seseorang yang sedang tersenyum dihadapanku ini.

My fated one.