Wednesday, July 13, 2011

My Fated One

Aku menuju ruangan itu dengan langkah gontai. Terlalu berat bagiku untuk mengakui semua yang terjadi ini adalah salahku. Ya, salahku. Aku yang menyebabkan hari ini jadi seperti ini. Dan orang itu juga.
“Yoo Ra-ah, annyeong.” Aku berusaha tersenyum ketika aku sampai ruangan itu. Kulihat sosok yang hanya diam di hadapanku.

“Maafkan aku, Yoo Ra-ah. Seharusnya memang aku lebih berhati-hati saat itu.”
Aku mendengar suara pintu terbuka. Aku pun berdiri untuk memberi hormat pada wanita yang mendekati kami. Wanita itu tersenyum.

“Kibum-ah sudah datang rupanya. Sudah sarapan? Apakah masih sibuk dengan jadwal dari kantor? Terima kasih, ya, sudah sempat datang.”

Aku hanya menggangguk. Ya, jadwalku memang padat setelah aku menjadi bagian dari Super Junior. Yoo Ra kesepian sejak aku mulai disibukkan dengan jadwal-jadwal yang super padat itu. Memang, Yoo Ra tidak pernah bilang padaku. Dia selalu menyuruhku untuk fokus pada pekerjaanku sekarang. Tetapi lagi-lagi hati tidak bisa berbohong. Terakhir kali aku melihat postingan pada akun jejaring sosialnya, hampir semuanya mengarah pada kenyataan bahwa dirinya kesepian.

Aku memang hampir tidak pernah lagi membuka akunku sejak aku debut. Aku disibukkan dengan berbagai latihan baik itu menari, menyanyi, disertai dengan berbagai jadwal gila lainnya. Sudah hampir setengah tahun aku seperti ini. Dan setengah tahun itu lah aku meninggalkan Yoo Ra.

Gwenchana, oppa. Aku tahu kau sibuk.”

Selalu kata-kata ini yang kudengar ketika aku sedang ada waktu luang, untuk menelponnya, menanyakan kabarnya. Aku rindu suaranya. Aku merindukan senyumannya. Tapi seluruh kesibukkan ini menguji kesabaranku, juga kesabarannya. Hingga aku memberanikan diri untuk mangkir dari jadwal kerjaku yang padat itu.

***

“Yoo Ra-ah, besok kita jalan-jalan, ya? Yoo Ra mau kemana besok?” tanyaku ketika aku selesai latihan dance bersama member lainnya.

“Bukannya oppa ada jadwal besok pagi? Sorenya juga ada konferensi pers untuk single baru kan? Gwenchana, oppa. Jadi penyanyi memang impian oppa kan? Aku akan menontonmu dari rumah besok.”

Para member mulai berkumpul mengelilingiku. Bahkan Heechul hyung menyuruhku agar aku menekan tombol loudspeaker. Aku menggeleng. Dan dengan cepat Heechul hyung merebut ponselku dan menekan tombol loudspeaker itu.

“Yoo Ra-ah, annyeong!” Heechul hyung mengambil alih ponselku sekarang. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku melihat tingkah laku hyung. Member lain pun mendekat setelah ponselku diambil alih.

“Ah, Heechul oppa, annyeonghaseo.” Aku berani taruhan Yoo Ra sedang menundukkan kepalanya diseberang sana. Sudah menjadi kebiasaan Yoo Ra untuk menundukkan kepalanya di telepon kalau dia mengucapkan annyeonghaseo pada orang yang dia hormati.

"Kibum baik-baik saja disini. Kamu tenang saja. Dia tidak akan kami biarkan main-main dengan wanita lain selain kamu.” Heechul hyung mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku hanya bisa tersenyum kecil.

Ne, oppa. Aku titip Kibum oppa ya, oppadeul.” Seluruh member menjawab ‘Ne’ secara serempak. Aku langsung merebut ponselku dan menuju koridor yang sepi.

“Besok oppa ada waktu luang dari jam 12 sampai jam 4 sore. Tunggu oppa di taman bermain yang biasa kita datangi, ya?”

“Tidak apa-apa ditempat ramai seperti itu? Manajemen oppa melarang Super Junior untuk berpacaran, kan? Kalau ketahuan bagaimana, oppa?”

“Jam 12 tepat di gerbang barat. Jangan terlambat, ya. Aku lanjut latihan dulu.”

Ne.”

Dan sambungan telepon pun terputus.

“Heechul hyung.” aku memanggil Heechul hyung yang sedang mengotak-atik ponselnya di sudut ruangan latihan. Sementara member lain sedang dengan kesibukannya masing-masing.

”Temani aku cari hadiah malam ini, bisa? Heechul hyung tidak ada jadwal kan malam ini? Kebetulan aku lagi kosong juga.”

“Untuk Yoo Ra?”
“Ya.”
“Dalam rangka apa?”
“Besok hari ulang tahunnya.”

***

Aku menoleh ke arah jam tanganku. Sudah jam 12 lebih 5 menit. Aku menyuruh manajer hyung untuk menyetir lebih cepat. Aku sudah terlambat dari janjiku. Padahal aku sudah memberikan yang terbaik pada acara musik itu. Tetapi kenapa PD itu malah lebih banyak tidak puasnya pada penampilan kami? Padahal sudah sesuai dengan yang diperintahkan PD itu. Untungnya selesai hari ini juga. Kalau tidak, aku bisa terancam tidak bertemu Yoo Ra.

Hyung, lebih cepat lagi. Aku sudah terlambat 15 menit.”
Jarak tempat syuting kali ini memang agak jauh dari taman bermain tempat kami bertemu. Hyung pun menambah kecepatan. Dan akhirnya kami sampai dalam waktu 20 menit.

“Ingat ya, hanya sampai jam setengah 4 sore. Nanti aku akan menelponmu. Pakai kacamata dan topimu. Jangan sampai ketahuan orang lain. Kau tahu sendiri akibatnya.” Hyung memberiku kacamata hitam dan topi untuk menyamarkan penampilanku. Aku hanya menggangguk sebagai respon.

Aku pun keluar dari mobil setelah mengambil hadiah dan sebuket bunga, kemudian pamit pada hyung. Aku langsung berlari secepat yang aku bisa ke gerbang barat. Aku melihat Yoo Ra dengan dress selutut warna putih dan dengan bandana yang sewarna, kesukaannya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku.

Aku memutuskan untuk menghampirinya dari belakang. Aku mendekati Yoo Ra dengan sembunyi-sembunyi. Mungkin orang-orang di sekelilingku melihatku aneh, tapi tidak apalah. Mereka tidak mengenaliku. Dan akhirnya aku sampai di persis dua meter di belakang Yoo Ra. Dan…

Annyeong, oppa.” Yoo Ra berbalik ke arahku dan tersenyum.

“Yah, ketahuan ya? Haha. Saengil chukae. Ini. Bunga lili kesukaanmu. Dan ini, hadiah ulang tahun.” aku pun memberinya buket bunga dan hadiah yang aku siapkan dengan Heechul hyung semalam. “Maaf, tahun ini biasa saja. Lain kali tidak begini lagi.” aku menundukkan kepalaku, menyesal karena tidak sempat memberinya event apapun.

Yoo Ra menggelengkan kepalanya. “Aniyo, oppa. Oppa meluangkan waktu untukku hari ini saja aku sudah sangat senang.” Yoo Ra tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar. Dan saat itu juga aku merasa bersalah.

“Memang seharusnya aku tidak usah jadi member Super Junior, ya?” tanyaku pada Yoo Ra. Yoo Ra menggeleng lagi.

Oppa tidak boleh begitu. Sekarang keinginan oppa sudah terwujud. Tidak boleh oppa sesali lagi. Lagipula, aku senang oppa jadi apa yang oppa inginkan. Aku senang oppa bisa dikenal banyak orang. Disayangi para fans. Aku yakin oppa bakal jadi entertainer hebat nantinya.”

Aku terdiam mendengar ucapan Yoo Ra. Tanpa aku sadari aku menarik Yoo Ra dalam pelukanku. Erat. Erat sekali aku memeluknya. Aku tidak mau melepaskannya. Aku tidak mau membuatnya sedih. Tidak peduli dengan tatapan orang disekitar kami. Aku tidak ingin melepaskannya.

Oppa…sakit…” aku pun melepaskannya. Kemudian dengan cepat mengecup pipinya. “Maaf ya. Masuk, yuk.” Aku pun memegang tangannya, dan kencan kami pun dimulai.

***
Oppa, kita foto, ya?” Yoo Ra menarikku ke arah photo booth. Aku mengikutinya tanpa melepaskan tangannya. Sesekali topiku hampir lepas dan aku harus membenarkan posisinya agar aku tidak ketahuan. Dan akhirnya kami masuk ke dalam photo booth.
Oppa, boleh minta sesuatu?”
“Apa?”

Yoo Ra meletakkan kado dan buket bunga di samping kakinya. Kemudian dia mengarahkan tangannya ke kepalaku. Dia mengambil topiku.

“Yoo Ra-ah, nanti – “
Dia menghentikan pembicaraanku dengan meletakkan jari telunjuknya di bibirku. Kemudian tangannya mengarah ke wajahku. Perlahan dia lepaskan kacamataku. Kemudian melipatnya dan menaruhnya di saku jaketku.

“Nah, lebih baik sekarang.” Katanya, kemudian menekan tombol start pada photo booth.
“Nanti ketahuan, bagaimana? Kamu mau kita pisah?” tanyaku pada Yoo Ra yang sedang sibuk dengan pengaturan photo booth.

Selesai mengatur, dia melihat ke arahku. “Aniyo. Tentu saja aku tidak mau kita pisah, oppa. Tapi bisa tidak, untuk sekali ini saja, aku melewatkan hari ulang tahunku, dengan Kim Kibum yang sebenarnya? Bukan Kim Kibum Super Junior yang dielu-elukan para fansnya di luar sana?”

Yoo Ra menghadap ke kamera. Aku otomatis mengikutinya. Yoo Ra tersenyum, aku pun tersenyum.

Kemudian di lanjutkan dengan foto kedua, ketiga, dan foto terakhir. Sesi pertama photo booth kami lewati.

“Aku kesepian, oppa.”

Walaupun dia mengatakan kalimat terakhir dengan suara yang sangat kecil, aku masih bisa mendengarnya. Jung Yoo Ra, kesepian.

Mianhae.” Aku mengecup pipinya, cepat. Dan seiring dengan itu lampu flash dari photo booth menyala.

***

Oppa, ponsel oppa bunyi.” Yoo Ra yang sedang makan eskrim tiba-tiba menunjuk ke arah ponselku yang kuletakkan di atas meja tempat kami menikmati eskrim sekarang. Dari hyung. Aku tersentak. Aku melihat ke arah jam tanganku. Sudah jam setengah 4.

“Yoo Ra-ah, oppa harus pergi. Mianhaeyo.” Aku buru-buru memakai jaket yang tadi kulepas dan memasukkan ponselku ke kantung jaket. Setelah membenarkan posisi kacamata hitam dan topiku, aku pun setengah berlari ke arah pintu gerbang barat tempat hyung menurunkanku tadi. Ponselku terus berbunyi.

Ne, hyung. Aku sedang mengarah kesana. Apa? Hyung ada diseberang jalan tempat aku turun tadi? Ne. Sebentar lagi aku sampai.” Aku mematikan sambungan. Ah, itu dia mobil hyung. Tepat di seberang. Aku pun dengan cepat melewati jalan menuju mobil.

Oppa! Awas!” aku merasa tubuhku terdorong dengan keras. Aku pun mendarat tepat di samping mobil hyung. Aku langsung melihat ke arah jalan. Ingin tahu apa yang menyebabkan aku terdorong begitu keras, dan apa yang menyebabkan aku harus terjatuh seperti ini.

“Kibum¬ah. I-itu – “ hyung langsung keluar dari mobil. Pandangannya terpaku pada arah yang sama denganku. Pada seseorang yang terkapar di jalan yang aku lewati tadi. Yang menyelamatkanku dari yang seharusnya aku dapatkan sekarang.

Pandanganku tetap terpaku. Tidak percaya dengan apa yang kulihat sekarang.

***

Aku mendapat teguran keras dari CEO ku, karena aku mangkir dari pekerjaan. Manajemenku sudah tahu bahwa aku membina hubungan khusus dengan Yoo Ra. Aku memohon pada mereka untuk merahasiakannya dari publik, karena memang pada saat kejadian aku tetap pada penyamaranku. Jadi aku berani menjamin identitasku tidak diketahui siapapun.

Yoo Ra mengalami gegar otak ringan. Dan terdapat beberapa luka di sekujur tubuhnya. Aku hanya menatapnya. Lagi-lagi ini yang hanya bisa kulakukan. Diam.

Aku sengaja mematikan ponselku. Aku sudah meminta pada manajer hyung untuk membiarkanku istirahat untuk hari ini saja. Walaupun itu hampir mustahil, dan akhirnya nanti aku akan mendapatkan teguran keras lagi dari CEO manajemenku. Ah! Biarlah! Aku lelah dengan semua ini!

“Kibum-ah, sudah makan? Bibi sudah buatkan bekal tadi di rumah selama kamu berjaga disini. Jangan sampai sakit juga. Yoo Ra pasti tidak mau kamu sakit, ya?” Bibi menepuk bahuku pelan sambil meletakkan bekal di meja yang berada tepat disebelah kananku. Aku benar-benar merasa bersalah. Setelah semua yang terjadi pada Yoo Ra, bibi masih memperlakukanku seperti ini.

“Apakah saya masih pantas dengan Yoo Ra? Setelah semua yang terjadi pada Yoo Ra?” akhirnya aku mengeluarkan apa yang menjadi ganjalan di hati. Aku tidak berani mengangkat wajahku setelah mengatakan hal itu. Aku takut akan ada respon negatif.

Aku merasakan sentuhan hangat di pundakku. Aku mengangkat wajahku dan menatap wajah wanita yang melahirkan Yoo Ra. Beliau tersenyum. Senyumannya membawa kehangatan tersendiri untukku.
“Selama Yoo Ra yakin dengan pilihannya, Bibi tidak akan melarangnya. Bibi yakin, yang Yoo Ra pilih sekarang itu memang yang terbaik untuk Yoo Ra. Jaga dia. Jangan sampai seperti masa lalu Bibi.” Bibi berhenti sebentar dan melihat ke arah Yoo Ra. “Jangan lupa dimakan bekalnya. Kalau ada apa-apa dengannya langsung hubungi Bibi. Bibi pulang sebentar beres-beres rumah dan membereskan baju-baju untuk Yoo Ra.”

Aku mengangguk, kemudian mengantar bibi sampai pintu kamar. Setelah itu aku langsung membuka bekal makanan yang diberikan bibi padaku. Aku memakannya hingga tak tersisa. Sudah lama aku tidak makan makanan buatan sendiri seperti ini sejak aku debut. Hal-hal kecil seperti ini saja sudah membuatku rindu dengan suasana lingkunganku yang dulu.

Makanpun selesai. Aku membereskan kembali kotak bekal, kemudian mengambil segelas air dan meminumnya. Waktu sudah menunjukkan jam 2 siang. Cuaca di luar sana membuatku mengantuk. Aku merasa mataku berat. Dan akhirnya aku pun terlelap.

***

Aku merasakan sesuatu yang membangunkanku. Perlahan kubuka mataku, kuangkat wajahku dan melihat apa yang membangunkanku.

“Yoo Ra-ah…” aku langsung membawanya ke dalam pelukanku. Aku tidak tahu apa yang harus aku ucapkan padanya. Aku senang dia bangun dari tidurnya. Di sisi lain, aku merasa bersalah. Aku merasa menyesal kenapa aku harus memilih debut dari pada Yoo Ra.

Oppa, sesaaaaak.” Katanya sambil berusaha melepaskan pelukanku. Aku tidak ingin melepasnya. Aku takut hal yang sama akan terjadi lagi.

Oppa, gwenchana. Uljhima.” katanya sambil menepuk pelan punggungku. Air mataku tidak dapat kutahan lagi. Aku sudah banyak bersalah padanya. Aku tidak tahu lagi harus apa untuk menebus kesalahanku.

Aku sedikit tenang dan melepaskan pelukanku. Aku melihat wajah Yoo Ra yang tersenyum. Aku hanya bisa tersenyum.

“Aku bangun dari 1 jam yang lalu.” katanya, mengawali pembicaraan kami. “Baru kali ini aku lihat oppa tidur seperti itu. Oppa jangan memaksakan diri. Oppa kan akan terkenal seperti Rain oppa dan BoA unnie, jadi oppa –“

“Aku ingin berhenti jadi entertainer.”
Aku tahu Yoo Ra pasti kaget dengan keputusanku. Aku tahu keputusanku terlalu mendadak. Tapi kalau memang keputusanku ini harus mengorbankan Yoo Ra sampai seperti ini, lebih baik aku mundur saja.

Oppa merasa bersalah karena keadaanku begini sekarang?”
Aku diam. Ya, mungkin memang ini salah satu alasan mengapa aku membuat keputusan ini. Aku sadar, selama aku memulai debutku, konsentrasiku terbagi. Di satu sisi, aku ingin memulai karirku yang susah payah aku gapai. Dan disisi lain aku ingin tetap menjaga agar hubungan kami tetap seperti biasa.

“Aku hanya ingin melindungi oppa, itu saja. Aku merasa aku harus menjaga impian oppa. Kalau oppa kecelakaan, tentunya oppa tidak akan seperti ini sekarang. Tertidur pulas dan menikmati waktu senggangnya.” ujarnya sambil tersenyum lagi.

“Tapi, karena aku tadi kamu kecelakaan, Yoo Ra-ah! Untung kamu hanya luka ringan! Kalau lebih parah bagaimana?! Kalau kamu sampai terluka parah bagaimana?! Kalau bagian dari dirimu ada yang hilang bagaimana?!” tiba-tiba aku menaikkan volume suaraku. Aku merasa marah. Sangat marah. Bukan pada Yoo Ra. Tapi pada diriku sendiri.

"Aku percaya, oppa tidak akan meninggalkanku.” jawabnya. Aku menatapnya tidak percaya. “Kalau aku memang harus ditakdirkan seperti itu, oppa akan tetap bersamaku, kan? Karena itu, aku harus melindungi impian oppa. Karena kalau oppa yang mengalami kecelakaan ini, aku tidak bisa menggantikan oppa mewujudkan impian oppa. Impian oppa harus dicapai oleh oppa sendiri.”

Aku masih menatapnya. Mencerna kata per kata yang dia ucapkan.

“Karena impianku adalah, apabila impian oppa tercapai, dan oppa bahagia berkat pencapaian itu.”
Saat detik itu, aku percaya, aku memang ditugaskan untuk menjaga seseorang yang sedang tersenyum dihadapanku ini.

My fated one.

0 comments:

Post a Comment